Tradisi mengarak Bumi atau 'Hok Tek Tjing Sin' dalam bahasa Tiongkok tak pernah terlewatkan. Setiap bulan 8 tanggal 15 imlek pada pertengahan musim gugur di belahan Bumi Utara, diyakini bulan pada posisi paling besar setiap tahun. Saat itulah, leluhur bangsa China meyakini sebagai saat tepat mengarak Dewa Bumi sebagai bentuk ucapan terima kasih atas kelimpahan kemakmuran.
Tradisi yang berlangsung sejak ratusan tahun silam di negeri Tirai Bambu, tampaknya masih disetiai warga keturunan China di Solo. Setidaknya, dalam beberapa tahun terakhir, setiap bulan 8 tanggal 15 Imlek, Klenteng Tien Kok Sie Pasar Gedhe, menggelar kirab dengan mengarak Dewa Bumi menyusuri sejumlah ruas jalan di Kota Solo. Bahkan tahun ini, Klenteng Poo An Kiong Coyudan, ikut bergabung, hingga kirab Dewa Bumi terkesan kian semarak.
Tak kurang grup Drumband serta kesenian barongsai dari Kesatuan Arhanud 15 Kodam IV/Diponegoro, memperteguh keanggunan arak-arakan pada posisi barisan paling depan tepat pada tengah hari, Minggu (07/09/2014). Berangkat dari Klenteng Tien Kok Sie, arak-arakan berakahir di Klenteng Poo An Kiong melalui Jalan Re Martaadinata, Jalan Sudirman, Jalan Ronggowarsito, Jalan Honggowongso dan Jalan Rajiman.
Cukup menarik, tradisi yang bermuara dari budaya China ini, di Solo telah dibesut dengan nuansa akulturasi. Secara kultural, menurut Humas Klenteng Tien Kok Sie, Lian Hong Siang, ada ikatan budaya antara klenteng yang besebelahan dengan Pasar Gedhe itu dengan Keraton Kasunanan Solo. Bahkan masyarakat di sekitar Pasar Gedhe, terutama kampung Sudiroprajan, menyebut Hok Tek Tjing Sin sebagai dewa pembauran.
Pada perspektif lebih luas, menurut Lian Hong Shiang, kirab Dewa Bumi sejatinya tak jauh berbeda dengan tradisi sedekah bumi bagi masyarakat Jawa. Karenanya, sebagai bentuk ritual berakar dari tradisi China kirab Dewa Bumi di Solo, juga diarahkan sebagai peristiwa budaya. "Kita ingin merawat tradisi yang memberi banyak simbol-simbol ajaran bagi hidup dan kehidupan," katanya.
Tradisi yang berlangsung sejak ratusan tahun silam di negeri Tirai Bambu, tampaknya masih disetiai warga keturunan China di Solo. Setidaknya, dalam beberapa tahun terakhir, setiap bulan 8 tanggal 15 Imlek, Klenteng Tien Kok Sie Pasar Gedhe, menggelar kirab dengan mengarak Dewa Bumi menyusuri sejumlah ruas jalan di Kota Solo. Bahkan tahun ini, Klenteng Poo An Kiong Coyudan, ikut bergabung, hingga kirab Dewa Bumi terkesan kian semarak.
Tak kurang grup Drumband serta kesenian barongsai dari Kesatuan Arhanud 15 Kodam IV/Diponegoro, memperteguh keanggunan arak-arakan pada posisi barisan paling depan tepat pada tengah hari, Minggu (07/09/2014). Berangkat dari Klenteng Tien Kok Sie, arak-arakan berakahir di Klenteng Poo An Kiong melalui Jalan Re Martaadinata, Jalan Sudirman, Jalan Ronggowarsito, Jalan Honggowongso dan Jalan Rajiman.
Cukup menarik, tradisi yang bermuara dari budaya China ini, di Solo telah dibesut dengan nuansa akulturasi. Secara kultural, menurut Humas Klenteng Tien Kok Sie, Lian Hong Siang, ada ikatan budaya antara klenteng yang besebelahan dengan Pasar Gedhe itu dengan Keraton Kasunanan Solo. Bahkan masyarakat di sekitar Pasar Gedhe, terutama kampung Sudiroprajan, menyebut Hok Tek Tjing Sin sebagai dewa pembauran.
Pada perspektif lebih luas, menurut Lian Hong Shiang, kirab Dewa Bumi sejatinya tak jauh berbeda dengan tradisi sedekah bumi bagi masyarakat Jawa. Karenanya, sebagai bentuk ritual berakar dari tradisi China kirab Dewa Bumi di Solo, juga diarahkan sebagai peristiwa budaya. "Kita ingin merawat tradisi yang memberi banyak simbol-simbol ajaran bagi hidup dan kehidupan," katanya.
Tidak ada komentar: