Nini Thowong merupakan sebuah hiburan tradisional masyarakat Jawa yang sangat unik karena tidak ditemukan di daerah lain. Selain itu Nini Thowong sarat dengan unsur seni, tradisi dan mistis yang tinggi. Hal-hal tersebut yang membuat penulis tertarik untuk membahas tentang Nini Thowong.
Nini Thowong merupakan boneka perempuan yang menurut cerita adalah saudara perempuan dari jailangkung. Mengapa dinamakan Nini Thowong? Karena mukanya putih (thowong). Disebut “Nini”, karena jenis kelaminnya perempuan. Konon, dulu ada seorang gadis, yang perangainya jahat. Dia disihir oleh tetangganya, jadilah Nini Thowong.
Kebudayaan yang dimiliki setiap suku bangsa di Indonesia mempunyai corak yang berbeda-beda. Perbedaan itu disebabkan adanya pengaruh lingkungan alam di sekitar masyarakat suku bangsa itu bertempat tinggal. Hasil kebudayaan itu diantaranya adalah bentuk peralatan hiburan dan kesenian tradisional. Di Daerah Istimewa Yogyakarta banyak sekali jenis-jenis peralatan hiburan dan kesenian tradisional tersebut.
Sebagai contoh permainan tradisional yaitu Nini Thowong. Permainan ini berasal dari Gurdo, Panjangrejo, Pundong, Bantul. Nini Thowong adalah nama permainan berupa boneka dari tempurung kelapa, rangka bambu dan diberi pakaian seperti orang. Permainan Nini Thowong berfungsi sosial dan religius magis. Berfungsi sosial karena mampu mengumpulkan anak-anak desa bermain bersama. Berfungsi religius magis karena ada semacam kepercayaan bahwa Nini Thowong yang sudah kemasukan roh halus bisa menunjukkan obat bagi yang sakit, dan bila dituruti si sakit dapat sembuh. Permainan Nini Thowong ini menyebar dari mulut ke mulut.
Nini thowong merupakan kesenian nenek moyang zaman dahulu yang dimainkan pada waktu senggang. Bentuk nini thowong tersusun dari siwur (gayung dari batok), enjet, angus (arang) untuk menggambar wajah. Bahan-bahan tersebut disusun menyerupai bentuk manusia lalu dipakaikan kebaya, sarung dan diberi daun-daun yang berasal dari kuburan. Setelah siap, boneka tersebut dibawa ke pohon besar yang angker dan diberi sesajen yang bertujuan untuk memanggil dan agar kemasukan arwah.
Pada zaman dahulu, Nini thowong dimainkan pada saat mongso ketigo (musim kemarau) di bawah bulan purnama. Tetapi pada zaman sekarang nini thowong dimainkan pada saat acara-acara tertentu dan pada malam minggu. Bentuk mukanya juga telah dimodifikasi dengan gabungan antara topeng dan siwur (gayung).
Permainan ini tidak memiliki tujuan tertentu baik itu ritual maupun semacamnya. Pada saat memainkan boneka nini thowong ini tidak diperlukan sesajen, hanya mengalungkan bunga telon. Permainan ini diiringi oleh gejug lesung dan gamelan mega mendung. Pada zaman dulu diiringi tembang tetapi sekarang diiringi lagu Prahu Layar.
Nini Thowong dan Gejog Lesung sebagai sebuah kesenian budaya memiliki nilai sosial dan religius magis. Berfungsi religius magis karena ada semacam kepercayaan bahwa Nini Thowong yang sudah kemasukan roh halus bisa menunjukkan obat bagi yang sakit, dan bila dituruti si sakit dapat sembuh.
Jika Nini Thowong pada jaman dahulu merupakan sebuah budaya animisme yang ketika memainkan Nini Thowong ini mempunyai suatu maksud tertentu, saat ini Nini Thowong hanya merupakan sebuah pementasan yang bertujuan untuk menghibur tanpa mempunyai maksud magis apapun (misal upacara pemanggilan hujan atau ritual pengobatan).
Dalam tarian Nini Thowong sebuah patung atau boneka menjadi hal yang wajib boneka inilah yang disebut dengan Nini Thowong. Boneka didandani dengan pakaian lengkap dan dirias layaknya seorang penari sungguhan. Selain sarat dengan unsur seni pada jaman dulu tarian nini thowong juga ada unsur magisnya.
Konon bahwa seni sudah ada sejak jaman Mataram dipimpin oleh Panembahan Senapati. Wilayah Pundong, Bantul Yogyakarta yang merupakan daerah yang dekat sungai Opak, di mana Panembahan Senapati gemar bertapa di sungai itu. Maka sejak jaman keraton Mataram Islam berkembang, karya ini telah ada.
Semula, ketika Panembahan Senapati sudah usai bertapa di tempuran Sungai Opak dan sungai Oya, beristirahat di daerah Pundong. Di situ dia menjadi peminta-minta, dan secara kebetulan melihat segerombolan anak-anak yang dolanan boneka.
Di bulan purnama yang cerah itu, Panembahan Senapati minta minuman pada anak- anak yang dolanan itu, namun tidak diberi. Lalu dia pergi, tiba-tiba anak yang bermain tadi bersorak-sorak, karena mainan bonekanya bergerak terus, mengayun- ayun, mengikuti perjalanan Panembahan Senapati menuju ke tepi sungai. Namun, raja besar itu sekejap hilang dari pandangan anak-anak. Sejak itu, boneka jadi-jadian itu tenang lagi.
Dari waktu ke waktu, setiap akan bermain boneka yang konon disebut jalangkung itu, anak-anak semakin hati-hati dan ada rasa takut. Atas dasar kejadian itu, orang tua sedikit melarang kalau anak-anaknya bermain boneka malam hari.
Apalagi anak-anak selalu menceritakan kejadian yang baru saja dialami. Orang tua mereka justru merespon negatif dengan ucapan: “ Engko digondhol nini-nini ” Dalih orang tua agar anaknya tidak digoda makhluk halus. Namun, anak-anak tetap bermain boneka tersebut, dan sampai sekarang ucapan nin-nini itu oleh anak-anak dinamakan Nini Thowong
Awalnya dia menganggap nini itu sebagai hantu. Namun, lama-kelamaan jadilah hantu yang menyenangkan, karena bisa diajak komunikasi.
Tidak ada komentar: