DENDAM iblis kepada Adam yang membuatnya terusir dari surga, hingga sekarang masih membara. Sumpahnya untuk meneysatkan anak keturunan Adam sampai sekarang masih berlaku, maka ia mencanangkan misi penyesatan sepanjang hidupnya.
Fenomena Sawan Manten adalah salah satu bentuk kerja iblis untuk menyesatkan anak keturunan Adam dalam kaitannya dengan hidup berumahtangga. Fenomena ini banyak menimpa mereka yang tengah merancang bahtera rumah tangga. Dalam hal ini, misi diemban adalah menggagalkan anak manusia untuk membina keluarga atau memisahkan pasangan suami istri jika mereka sudah menikah.
‘Sawan’ banyak diartikan sebagai suatu penyakit ringan yang biasanya menimpa anak kecil. Namun secara praktis istilah tersebut juga sering digunakan masyarakat Jawa utnuk menggambarkan naas atau kesialan yang menempel pada diri seseorang. Dan Sawan Manten adalah naas atau kesialan yang menimpa calon pengantin atau keluarga menjelang atau pada saat akan dilaksanakan prosesi pernikahan.
KASUS TERUS BERULANG
PERNIKAHAN merupakan hal yang sangat ditunggu anak manusia. Sejak masa pubertas, keinginan anak manusia untuk membangun rumah tangga dengan lawan jenis pasangan hidupnya semakin lama semakin kuat seiring waktu yang dilaluinya. Hari demi hari dijalani dengan penuh semangat dan gairah menyongsong masa depan cerah. Sejak masa pubertas itu pula anak manusia belajar bersosialisasi dengan lawan jenisnya sebagai upaya mencari pasangan hidupnya.
Dalam perjalanan hidupnya, seorang laki-laki atau perempuan boleh jadi berganti-ganti pasangan atau pacar. Sejak menginjak SMA atau bahkan SMP, seorang remaja laki-laki atau perempuan mulai mengalami ketertarikan pada lawan jenis. Pada saat itu pula hari-hari dijalani dalam proses mencari pasangan hidup yang benar-benar disayangi dan menyayanginya.
Dalam proses tersebut ada yang menjalaninya dengan mulus, seakan tanpa hambatan berarti. Pasangan hidup yang ditemuinya saat menginjak remaja tidak berubah hingga keduanya sepakat untuk menikah. Namun ada juga yang terpaksa harus jatuh bangun merajut kembali jalinan asmara dengan beberapa lawan jenis yang berlainan setelah mengalami keretakan atau ‘pemutusan hubungan kekasih’. Tentu saja hal tersebut sangat menyakitkan, seperti yang dialami oleh Pat Kay, tokoh siluman babi dalam cerita Kera Sakti, yang mengalami ‘1001 siksaan cinta’.
Akhirnya, setelah mengalami proses panjang bersosialisasi dengan lawan jenis, seorang laki-laki atau perempuan menjatuhkan pilihan pasangan hidupnya. Hal itu dilakukan setelah keduanya merasa sudah cocok dan memahami karakter masing-masing. Keduanya merasa tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain dan sepakat untuk mengikat hubungan mereka dalam sebuah pernikahan.
Babak baru dalam perjalanan cinta keduanya segera dimulai. Hal itu diawali dengan pinangan pihak calon pengantin laki-laki pada calon pengantin perempuan. Dalam tahap ini, orang tua kedua calon pengantin mulai terlibat dalam jalinan hubungan keduanya. Dengan kata lain, orang tua atau keluarga mulai turun tangan untuk mengikat kedua calon pengantin itu dalam sebuah pernikahan, dimana orang tua calon pengantin laki-laki maupun perempuan berharap, bahkan sangat berharap, rumah tangga keduanya akan berjalan langgeng, rukun dan sejahtera.
Tetapi, tepat setelah orang tua calon pengantin laki-laki melamar calon pengantin perempuan, dimulailah sebuah fenomena supranatural yang kemudian oleh masyarakat yang hidup dalam kultur Jawa dikenal sebagai ‘Sawan Manten’. Seperti ada kekuatan eksternal yang mempengaruhi, kesialan demi kesialan silih berganti menghampiri baik kedua calon pengantin maupun keluarganya. Mulai dari pertengkaran-pertengkaran kecil, emosi yang tidak stabil, hingga godaan-godaan dari lawan jenis yang menghadang kedua calon pengantin.
Berkaitan dengan fenomena sawan manten, ada beberapa kasus yang terjadi berulang-ulang dan menunjukan adanya pola dan skenario tertentu. Mungkin bagi sebagian besar orang kasus yang terjadi berulang-ulang itu merupakan kasus biasa yang terjadi secara kebetulan. Tetapi bagi sebagian orang hal itu sangat menarik untuk diamati dan dipetik pelajaran darinya.
Lebih jauh, menurut pengamatan penulis, pengaruh fenomena sawan manten ini mulai terasa efektif sejak keluarga calon pengantin pria mendatangi keluarga calon pengantin wanita dan secara resmi mengajukan lamaran pada calon pengantin wanita tersebut hingga 35 hari setelah akad nikah. Hal itu terlihat dari kasus-kasus yang menghiasi media massa berkenaan dengan fenomena sawan manten yang biasanya terjadi pada jarak waktu tersebut. Hampir sebagian besar kasus kecelakaan lalu lintas yang merenggut korban jiwa dari rombongan pengantin terjadi dalam jarak waktu sejak terjadinya lamaran hingga 35 hari setelah pernikahan.
Jadi, dalam kaitannya dengan sawan manten, terdapat apa yang penulis sebut sebagai masa kritis, yakni jarak waktu yang mengandung bahaya atau naas yang mengancam calon pengantin atau sanak keluarganya. Massa kritis itu dimulai sejak diadakannya lamaran hingga 35 hari setelah upacara pernikahan dilangsungkan. Ada baiknya setiap pasangan pengantin baru untuk berhati-hati dan tidak berlaku sembrono. Bagaimanapun juga, tidak ada salahnya untuk bersikap hati-hati daripada menyesali ketika terjadi peristiwa yang tidak diinginkan.
Tidak ada komentar: