Kampung Mundusaren (Kampung Mundu) sekitar 1 Km Sebelah Utara Ambarukmo Plaza Jam Buka umum: 06.00-19.00 WIB
Menu ayam tetap saja populer. Baik yang digoreng, dibacem atau dibakar. Ada yang diberi bumbu manis, asin atau pedas. Semuanya nikmat dan membuat keinginan mencoba selalu ada. Salah satunya di tempat Pak Kromo.
Lokasinya menyempil, di sebuah gang yang berada di pinggiran Yogyakarta. Pada sisi baratnya terdapat bangunan sekolah dan sepetak sawah. Tulisan warung ayam goreng menempel di spanduk yang warnanya kusam. Sebuah rak yang kacanya berminyak menghiasi bagian depan. Di dalamnya puluhan ayam goreng diletakkan di atas nampan besi.
Saat melangkah masuk ke bagian dalam, ada tumpukan kardus untuk arisan. Meja-mejanya berantakan, tak teratur. Pada sisi kanannya ada poster seukuran papan tulis berisikan artikel tentang warung Pak Kromo di sebuah media.
"Daging atau paha atas," tanya ibu muda kepada tim media. Di dalam rak tadi terdapat rempela ati, paha atas dan dada. Warnanya coklat kehitaman. Ada beberapa bagiannya yang tampak legam.
"Paha atas."
Lalu, sejurus kemudian paha atas (gending) tersaji di atas meja. Sambalnya terasi dan tomak. Lengkap beserta lalapan timun dan daun kobis. Nasi hangat yang kemebul siap disantap. Lebih nikmat jika menikmatinya menggunakan tangan tanpa sendok dan garpu atau dalam bahasa Jawa-nya disebut muluk.
Sobek ayamnya, tambahkan nasi dan sambal lalu hap...hap...hap. Rasa manis dari ayam bacem langsung terasa di lidah. Ketika digigit, tekstur daging ayamnya agak keras. Bisa jadi karena disajikan dalam keadaan dingin.
Jangan lupa tambahkan sambal tomat dan terasinya. Aroma khas terasi langsung menyebar. Pedasnya sendiri terasa cukup. Bagi yang suka rasa manis, bisa menambahkan kecap.
Sejak berdiri tahun 1983, ayam bacem khas buatan H. Kromo Sentono dan istri ini sempat mengalami masa jaya. Pernah dalam sehari menghabiskan 150 ekor ayam. Namun, saat ini warung yang berlokasi di kampung Mundusaren, sebelah utara Ambarukmo Plaza ini lebih banyak melayani pesanan nasi ayam dalam kotak.
Lokasinya menyempil, di sebuah gang yang berada di pinggiran Yogyakarta. Pada sisi baratnya terdapat bangunan sekolah dan sepetak sawah. Tulisan warung ayam goreng menempel di spanduk yang warnanya kusam. Sebuah rak yang kacanya berminyak menghiasi bagian depan. Di dalamnya puluhan ayam goreng diletakkan di atas nampan besi.
Saat melangkah masuk ke bagian dalam, ada tumpukan kardus untuk arisan. Meja-mejanya berantakan, tak teratur. Pada sisi kanannya ada poster seukuran papan tulis berisikan artikel tentang warung Pak Kromo di sebuah media.
"Daging atau paha atas," tanya ibu muda kepada tim media. Di dalam rak tadi terdapat rempela ati, paha atas dan dada. Warnanya coklat kehitaman. Ada beberapa bagiannya yang tampak legam.
"Paha atas."
Lalu, sejurus kemudian paha atas (gending) tersaji di atas meja. Sambalnya terasi dan tomak. Lengkap beserta lalapan timun dan daun kobis. Nasi hangat yang kemebul siap disantap. Lebih nikmat jika menikmatinya menggunakan tangan tanpa sendok dan garpu atau dalam bahasa Jawa-nya disebut muluk.
Sobek ayamnya, tambahkan nasi dan sambal lalu hap...hap...hap. Rasa manis dari ayam bacem langsung terasa di lidah. Ketika digigit, tekstur daging ayamnya agak keras. Bisa jadi karena disajikan dalam keadaan dingin.
Jangan lupa tambahkan sambal tomat dan terasinya. Aroma khas terasi langsung menyebar. Pedasnya sendiri terasa cukup. Bagi yang suka rasa manis, bisa menambahkan kecap.
Sejak berdiri tahun 1983, ayam bacem khas buatan H. Kromo Sentono dan istri ini sempat mengalami masa jaya. Pernah dalam sehari menghabiskan 150 ekor ayam. Namun, saat ini warung yang berlokasi di kampung Mundusaren, sebelah utara Ambarukmo Plaza ini lebih banyak melayani pesanan nasi ayam dalam kotak.
Tidak ada komentar: