Aku adalah seorang ibu rumah tangga (30 th), suamiku (38 th) sangat pekerja keras, aku punya 2 orang anak. Aku merasa rumah tangga kami baik-baik saja. Suamiku adalah orang yang penyayang dan sosok ayah yang baik untuk tauladan putra putri kami.
Hampir sepuluh tahun usia pernikahan kami, pasnya untuk saat ini sudah 9 tahun (kami menikah tahun 2002). Di waktu senggang, aku sering sekali membahas tentang masa lalu suamiku, aku sering mendesaknya untuk bercerita tentang masa lalunya, siapa saja dan bagaimana orang (perempuan) yang pernah dekat dengannya. Entah mengapa aku bersemangat sekali mendengar ceritanya.
Tapi aku sering merasa sakit hati setelah mendengar cerita suamiku, entahlah aku sendiri kadang bingung. Sesekali suamiku marah, beliau pernah bilang “ma..ma.., kamu yang maksa aku cerita, tapi kamu marah sama aku, gimana?” Kadang aku berfikir, masa bodoh dengan masa lalunya, yang penting hari ini kami bahagia, dan aku sangat tahu dan merasakan bahwa suamiku sangat mencintaiku.
Akhir-akhir ini terbongkar kembali masa lalunya yang sangat lama disimpannya. Sewaktu kami belum menikah, beliau pernah bercerita, bahwa dulu pernah ada seorang wanita di desanya yang sangat special yang sangat menyemangatinya untuk kuliah. Aku adalah orang yang lumayan kuat mengingat memori yang penting.
Bertahun-tahun aku berusaha membongkarnya, baru hari-hari terakhir ini terungkap. Entah kenapa aku sangat sakit sekali merasakannya, berbeda dengan cerita-cerita dari suamiku tentang masa lalunya sebelum-sebelumnya. Ternyata perempuan yang dimaksud itu adalah orang yang aku kenal, dia adalah anak dari sepupu suamiku (umur mereka hanya terpaut 2 tahun).
Aku merasa dikhianati secara sembunyi-sembunyi. Makanya aku tak heran, suamiku sering membicarakan perempuan ini dalam kehidupan rumah tangga kami selama ini. Memang perempuan ini sekarang sudah menikah dan punya dua orang anak.
Aku ada perasaan takut dikhianati (selingkuh hati) oleh suamiku. Saat kami membaahs masalah ini beliau pernah mengatakan sesuatu yang agak bikin aku shock. Anak pertama dari perempuan itu cacat bisu-tuli.
Suamiku mengatakan kalau ada perasaan bersalah dirinya terhadap perempuan itu, “apakah kebisuan itu adalah karma sebagai pencerminan kebungkaman kami berdua atas rasa cinta yang terpendam yang tak pernah terungkap sampai saat ini?”pertanyaannya itu dilontarkan suamiku padaku.
Aku harus menjawab apa? tapi waktu itu aku sempat marah dan menjawabnya “apapun yang terjadi pada makhluk diseluh muka bumi, itu kehendak Allah, SWT. Itu cobaan untuknya, Alhamdullah itu tak terjadi pada anak-anak kita”. Terus terang aku tidak tahu salahkah sikap suamiku? atau salahkah cara aku menanggapinya? setelah itu kami sempat bertengkar karena aku kurang bisa menerimanya.
Hari berganti, selama itu sikap kami dingin, terutama aku. Mungkin karena usia suamiku yang lebih matang beliau sering menenangkan dan merayuku. “Sudahlah ma.. itu kan masa lalu, aku sudah tidak memikirkannya lagi, aku sayang kamu dan aku gak mau kehilangan kamu ma.. saat ini dan nanti aku cuma inginkan keluarga ini, tapi kamu berfikirlah dewasa ma.., setiap orang pasti punya masa lalu, dulu aku tidak pernah kok berkomitmen pacaran dengannya, aku cuma dekat dan aku tahu kalau aku terus-teruskan hubungan kami lebih dekat, ini adalah aib keluarga.”
Kalau dibilang aku ataupun dia pernah ada perasaan, mungkin iya, tapi tak pernah terlontarkan diantara kami. Aku masih binggung menanggapi masalah ini. Setelah itu aku mengajukan banyak pertanyaan pada suamiku, aku tambah penasaran bagaimana cerita cintanya itu. Pertanyaan terakhirku “apa masih tersisa perasaanmu padanya saat ini?”. Suamiku agak tersentak, “ya tidak ada ma.. cuma perhatian biasa yang berikan kepada sesama saudara”.
Aku juga sempat meminta satu hal pada suamiku, “karena aku takut tidak bisa menahan emosional saat melihat kamu bertemu dengannya di hari raya tahun depan atau acara -acara keluarga lainnya, kita jangan bertemu dulu dengannya sampai aku kuat dan benar-banar bisa menerimanya”.
Dengan tegas dan ikhlasnya suamiku menjawab, “apapun aku lakukan asal membuat kamu tenang ma”. Karena aku merasa setiap kali hari raya suamiku bersemangat sekali melihat aku bertemu sapa dengan perempuan itu, ungkapan sangat bahagia saat kami saling bersalaman sambil bercium pipipun begitu terlihat. Dulu aku belum mengetahui yang sebenarnya, aku cuek saja. Tapi sekarang… aku masih binggung menentukan sikap.
***
Seperti yang diceritakan kawan Astri kepada redaksi
Tidak ada komentar: