Ken2Rism | One Step Better

Sugeng Rawuh, Pemirsa !


HaLo Pemirsa !

Piye Kabare ? Hopefully Have a Nice Day on You ! Yang lg putus cinta nggak usah dipikir bingit2. Dunia tdk sesempit daun putri malu ( cilik menthik ), happy aja nggih !!! Salam dari Jogja ......

Ken2Rism

Blogger GauL

Kenalan Yuk !

Join To Connect With Me

Portfolio

    Posted by: Unknown Posted date: 01.13 / comment : 0

    Ajaran Jawa belum diketemukan sejarah awalnya, apa lagi dijelaskan dengan data-data. Kita seperti hanya bisa mendengar tanpa bisa menemukannya. Tetapi bukan berarti tidak ada dan tak dapat diketemukan. Di dalam ajaran yang sesungguhnya, hanya dapat dipahami melalui kesadaran instuisi kita. Seperti halnya ajaran Kasunyatan Jawa adalah tidak berbentuk, tidak terlihat, tapi merupakan proses kejadian dari semua fenomena yang ada di alam semesta.
    Kasunyatan Jawa adalah sabda nyata dan abadi. Ajaran ini tidak hanya berteori pada kansunyatan semata, namun memiliki banyak ilmu-ilmu kosmologi alamnya, simbol-simbol dan teknik spiritualitasnya yang unggul, serupa dengan masa-masa keunggulan Taoisme/Daoisme di Tiongkok. Kalau Kasunyatan Jawa dianggap tidak ada, maka tidak akan ada sejarah mencatat Siwa dan Budha bisa menemukan peradabannya di Jawa, apalagi seperti di Bali sekarang.
    Pada zaman dulu, tidak ada perbedaan antara tradisi religi Jawa dengan Kansunyatannya. Kawruh Jawa sebagai filsafat disebut juga sebagai Kasunyatan, sementara tradisinya dalam tantra mantra dan yantra disebut juga sebagai Budho Jowo, atau juga disebut Siwo Budho Jowo, yang demikian karena tata caranya hampir bertradisi ritual seperti Hindu namun berperilaku seperti Budha.
    Pada jamannya dikenal menjadi konsep perpaduan Tantrayana dengan karakter spiritualitas kejawaan tradisional. Kemudian terkondisikan masa keemasan budaya Candi-candi Hindu Budha dengan Candi-candi Pepunden di Jawa menemukan perpaduan konsepsi arsitektur yang unik dan khas, termasuk dalam seni sastra, budaya dan keagamaannya. Meski keragaman Hindu-Budha, namun masyarakat Jawa masih banyak yang memegang teguh pada tradisi candi pepunden dan ajaran keluhurannya.
    Alkisah diceritakan banyaknya pendeta-pendeta Budho Jowo merasa sedih karena peperangan saudara di Jawa, hendak mencari kedamaian, hingga akhirnya meninggalkan pulau Jawa dan menetap ke Bali. Belakangan kisah ini menjadi inspirasi tentang Naskah Sabda Palon Naya Genggong. Sebelum pergi, Prabu Kerthabhumi, sang raja Majapahit terakhir, berusaha menahannya agar tidak pergi, namun usahanya gagal. Sabda Palon hanya berjanji akan kembali dengan orang-orang pilihannya beberapa ratus tahun kemudian. Karena terlanjur berjanji pada leluhur di tanah Jawa, akan menjaga keturunan-keturunannya di Bali, agar mereka rukun hidupnya dengan ajaran leluhurnya, pula bahagia dengan tradisi dan budayanya. Bagi Sabda Palon untuk memulihkan peradaban yang sedang sakit di Jawa, kelak akan kembali membawa keluhuran Jawa menyatu dengan alamnya setelah tersebarnya ajaran Budhi.
    Kasunyatan Jawa, sebagai sebuah Kawruh Jawa dengan Siwaisme dan Buddhisme, bisa dikatakan telah bersinkretis dalam kehidupan masyarakat Jawa ratusan tahun lamanya, diakhir abad Lima hingga Lima Belas. Dalam sejarah keagamaan di Bali, kedatangan Sri Empu, Begawan, Bujangga maupun Brahmana dari Jawa dianggap sebagai pembawa sinkretis Siwa-Budha tiada henti di Bali. Hingga dalam perkembangannya kemudian, tradisi sastra keagamaan di Jawa berkembang menjadi bahasa persembahan dalam sesajian, banten, upakara maupun sastra-sastra mantranya. Filsafat maupun keagamaannya menjadi lebih khas dan berbaur dengan Hindu Bali sampai sekarang.
    Sedangkan Kasunyatan Jawa di masyarakat Jawa sendiri, berkembang menjadi Kawruh Kejawen, menjadi tradisi yang menerapkan moralitas dan politik. Sementara Kawruh Budhi adalah keutamaan individual, yang lebih memusatkan dirinya dalam bentuk-bentuk paguyuban maupun penghayatan sendiri-sendiri. Gejolak bangkitnya Kejawen di Jawa, timbul dari kekecewaan masyarakat di Jawa atas situasi politik Demak akhir hingga Pajang berdiri, pada masa itu banyak sekali perbedaan pendapat antara Jawa Islam dengan kalangan penghayat Jawa tradisionalis.
    Masa Sultan Agung, menjadikan Kejawen mulai menemukan tali simpulnya kembali, meski akhirnya berpengaruh menjadi Kejawen Islam di Jawa. Pada masa Kolonial Belanda, Kejawen menjadi lebih dikenal Kejawen Modern, yang menerapkan pola Tasawuf Islam, hingga dikalangan pesantren-pesantren berbasis Islam Jawa, para tokoh-tokohnya dikenal sebagai kalangan Makrifat Islam Jawa. Namun disebagiannya masih banyak yang sepenuhnya menolak adanya ajarannya bersinkretisme budaya Jawa.
    Sedangkan masyarakat Jawa yang masih memegung teguh konsep Kasunyatan Jawa era paska Majapahit akhir hingga kekinian, yakni konsep tradisi dan ritualnya pada Pepunden, terus menurun jumlahnya. Perkembangan padepokan silat tradisional Jawa dan paguyuban penghayatan bermunculan spontanitas dan individual.
    Dilain sisi, Kawruh Jawa lebih disematkan pada praktek ajaran-ajaran ilmu Dukun Jawa (instruktif & destruktif), ngelmu kedigdayaan, sindiran klenikisme dan sejenisnya. Selain itu di kalangan generasi sekarang, tradisi kejawaan dalam konsep Kasunyatan dianggap mengajarkan pesimisme, sedangkan ngelmu-ngelmu kedigdayaan lebih disukai sebagai ajaran sikap optimisme.

    icon allbkg

    Tagged with:

    Next
    Posting Lebih Baru
    Previous
    Posting Lama

    Tidak ada komentar:

    Leave a Reply

Comments

The Visitors says