Orang yang prihatin bukan berarti selalu bersedih-sedih, tidak menikmati hidup, senantiasa berpuasa, bersemedi, tetapi prihatin berarti bersikap, berpikir dan bertindak dengan penuh kesederhanaan, sesuai dengan kemampuan & kompetensi masing-masing.
Sikap hidup orang Jawa yang diwarisi dari leluhurnya terjelma didalam lelaku dan usahanya untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup. Sikap hidup yang demikian itu tampak dan diwujudkan sebagai sikap ‘prihatin’, yang intinya sikap hidup yang sederhana tidak berfoya-foya menghamburkan waktu & uang atau melampiaskan hawa nafsu untuk mendapatkan kenikmatan semu yang sementara saja.
Ajaran keprihatinan mengandung unsur kesederhanaan yang senantiasa terjelma dalam tatanan kehidupan tradisi, budaya dan spiritual kejawen. Dengan prinsip keprihatinan dan kesederhanaan tersebut setiap orang pasti akan dapat mencapai sesuatu yang maksimal sesuai dengan tolok ukur dan kemampuan masing-masing pribadi, tidak dengan tolok ukur orang lain terutama untuk sesuatu yang sifatnya berlebihan dibandingkan dengan kemampuan pribadinya. Sikap laku prihatin diatas sejalan dengan sikap yang selalu bersyukur dan ikhlas menerima setiap karunia Illahi.
Ajaran tentang lelaku dan ngelmu kejawen juga menunjukkan konsep kesederhanaan dalam berpikir dan berbuat, intinya sebaiknya kita tidak memimpikan menggapai bintang dilangit, tetapi hendaknya meraih saja apa yang mampu kita raih, yaitu belajar ngelmu yang bermanfaat dan mampu menjadi bekal hidup dan sarana untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan alam kelanggenggan nantinya.
Berserah diri hakekatnya sama dengan “tapa ngeli” menghayutkan diri pada “aliran sungai” kehendak Hyang Widhi (kareping rahsa) yang akan menjamin kita sampai pada muara keberuntungan memasuki samodra anugrah Tuhan. Tapi orang kadang tanpa sadar telah salah pilih, menghanyutkan diri pada “air bah” (rahsaning karep/keinginan jasad) sehingga arahnya berbalik meninggalkan samodra anugrah Tuhan menuju ke daratan, menyapu dan merusak apa saja yang dilewatinya. Menerjang wewaler, merusak kedamaian dan ketentraman, tata krama, aturan, dan segala macam tatanan.
Pun, bagi yang dapat melakukan “tapa ngeli” tetap harus sambil berenang (eling dan waspadha) agar tidak tewas tenggelam. Bukan berarti, kita menyerahkan 100 % kemauan (inisiatif) kita kepada Tuhan. Karena sikap ini sama saja membangun sikap fatalistis. Lantas menganggap nasib buruk, kegagalan, penderitaan, kesulitan yang menimpa dirinya sebagai takdir Tuhan. Secara tidak sadar sikap itu seperti halnya mengkambinghitamkan Tuhan dan menafikkan tugas ihtiar manusia.
Berserah diri 100 % artinya kita tetap memiliki inisiatif untuk berjuang dan berusaha, hanya saja harus menempuh cara-cara atau prosedur yang mentatati rumus-rumus (kodrat) Tuhan. Sebab letak kodrat ada di dalam prosedur dan cara-caranya, bukan pada garis nasib. Merubah nasib itu menjadi tanggungjawab kita sendiri. Hanya saja tata cara dan rumus-rumus merubah nasib, sudah disediakan Tuhan.
Bila kita menggunakan rumus Tuhan, pastilah akan menuai sukses besar. Sebaliknya akan menuai kerusakan diri sendiri, orang lain, dan bumi. Manusia jenis inilah yang menjadi seteru Tuhan.
Proses tetap menjadi tugas utama manusia. Kegagalan bisa jadi karena manusia tidak mentaati rumus Tuhan. Atau Tuhan sengaja menggagalkan upaya manusia sebab Tuhan maha mengetahui dan selalu menentukan yang terbaik untuk manusia.
Hidup ibarat seni, perlu manajemen seni untuk menjalankan irama kehidupan sehari-hari sesuai kehedak Tuhan. Kejadian yang sama belum tentu memiliki makna dan hikmah yang samapula. Itulah sulitnya menerjemahkan kehendak Tuhan, krn Tuhan “bekerja” dengan cara yang misterius. Akan tetapi Tuhan Maha Adil, telah memberikan instrumen dalam jati diri kita berupa rahsa sejati dan guru sejati, sebagai alat paling canggih yang dapat menangkap bahasa isyarat dan kehendak Tuhan. Sayangnya masih banyak orang yang belum mengenali instrumen dalam diri pribadi setiap manusia tersebut.
Kodrat meliputi rumus-rumus ilmu Tuhan yang Mahaluas tak terbatas. Discovery, penemuan ilmiah bidang sains, teknologi dan knowledge, teori-teori filsafat, sosial ekonomi, politik, psikologi, kedokteran merupakan bukti nyata kesuksesan manusia dalam mengejawantah rumus-rumus (kodrat) dan kehendak Tuhan. Bahkan banyak di antara tokoh penemu sains dan teknologi, temuan mereka berkat diawali oleh sebuah ilham atau wisik gaib.
Kadang dengan didahului oleh kejadian unik yang menjadi jalan penunjuk ke arh penemuan baru. Dalam bahasa yang lebih ilmiah disebut sebagai talenta atau bakat alami. Seorang ilmuwan penemu, tidak akan tergantung apa sukunya, bangsanya, bahkan agamanya. Inilah salah satu bukti jika Tuhan itu tidak primordial, anti sektarian dan puritan. Tapi mengapa ya manusia sering kebangeten dengan berulah dan bertabiat kontraversi dengan “sikap” Tuhan tersebut ?
Sebagai bangsa yang agamis, harus berani jujur mengakui, telah kalah langkah dari orang-orang dan bangsa yang justru sering dianggap sekuler dan kafir yang kenyataannya mampu membuktikan diri berhasil menangkap rumus-rumus (kodrat) Tuhan. Hal ini terjadi mungkin karena orang sibuk bertengkar gara-gara perbedaan nilai-nilai pada tataran “kulit”, sekedar “baju” . Sehingga hidupnya selalu dirundung rasa curiga mencurigai sesama (su’udhon).
Manakah yang lebih religius ? Mana pula yang sekedar agamis ? Jika kita tetap negatif thinking dan menutup mata, jangan menyalahkan siapa-siapa bila selamanya ketinggalan dalam segala hal dan jatuh dalam keterpurukan. Padahal, kenyataannya orang yang dapat meraih kemajuan dan kemuliaan hidup, adalah orang yang selalu berpikiran positif. Sebaliknya, tiada bosan-bosannya mengkritik diri sendiri.
Sikap hidup orang Jawa yang diwarisi dari leluhurnya terjelma didalam lelaku dan usahanya untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup. Sikap hidup yang demikian itu tampak dan diwujudkan sebagai sikap ‘prihatin’, yang intinya sikap hidup yang sederhana tidak berfoya-foya menghamburkan waktu & uang atau melampiaskan hawa nafsu untuk mendapatkan kenikmatan semu yang sementara saja.
Ajaran keprihatinan mengandung unsur kesederhanaan yang senantiasa terjelma dalam tatanan kehidupan tradisi, budaya dan spiritual kejawen. Dengan prinsip keprihatinan dan kesederhanaan tersebut setiap orang pasti akan dapat mencapai sesuatu yang maksimal sesuai dengan tolok ukur dan kemampuan masing-masing pribadi, tidak dengan tolok ukur orang lain terutama untuk sesuatu yang sifatnya berlebihan dibandingkan dengan kemampuan pribadinya. Sikap laku prihatin diatas sejalan dengan sikap yang selalu bersyukur dan ikhlas menerima setiap karunia Illahi.
Ajaran tentang lelaku dan ngelmu kejawen juga menunjukkan konsep kesederhanaan dalam berpikir dan berbuat, intinya sebaiknya kita tidak memimpikan menggapai bintang dilangit, tetapi hendaknya meraih saja apa yang mampu kita raih, yaitu belajar ngelmu yang bermanfaat dan mampu menjadi bekal hidup dan sarana untuk mencapai keselamatan dan kesejahteraan hidup di dunia dan alam kelanggenggan nantinya.
Berserah diri hakekatnya sama dengan “tapa ngeli” menghayutkan diri pada “aliran sungai” kehendak Hyang Widhi (kareping rahsa) yang akan menjamin kita sampai pada muara keberuntungan memasuki samodra anugrah Tuhan. Tapi orang kadang tanpa sadar telah salah pilih, menghanyutkan diri pada “air bah” (rahsaning karep/keinginan jasad) sehingga arahnya berbalik meninggalkan samodra anugrah Tuhan menuju ke daratan, menyapu dan merusak apa saja yang dilewatinya. Menerjang wewaler, merusak kedamaian dan ketentraman, tata krama, aturan, dan segala macam tatanan.
Pun, bagi yang dapat melakukan “tapa ngeli” tetap harus sambil berenang (eling dan waspadha) agar tidak tewas tenggelam. Bukan berarti, kita menyerahkan 100 % kemauan (inisiatif) kita kepada Tuhan. Karena sikap ini sama saja membangun sikap fatalistis. Lantas menganggap nasib buruk, kegagalan, penderitaan, kesulitan yang menimpa dirinya sebagai takdir Tuhan. Secara tidak sadar sikap itu seperti halnya mengkambinghitamkan Tuhan dan menafikkan tugas ihtiar manusia.
Berserah diri 100 % artinya kita tetap memiliki inisiatif untuk berjuang dan berusaha, hanya saja harus menempuh cara-cara atau prosedur yang mentatati rumus-rumus (kodrat) Tuhan. Sebab letak kodrat ada di dalam prosedur dan cara-caranya, bukan pada garis nasib. Merubah nasib itu menjadi tanggungjawab kita sendiri. Hanya saja tata cara dan rumus-rumus merubah nasib, sudah disediakan Tuhan.
Bila kita menggunakan rumus Tuhan, pastilah akan menuai sukses besar. Sebaliknya akan menuai kerusakan diri sendiri, orang lain, dan bumi. Manusia jenis inilah yang menjadi seteru Tuhan.
Proses tetap menjadi tugas utama manusia. Kegagalan bisa jadi karena manusia tidak mentaati rumus Tuhan. Atau Tuhan sengaja menggagalkan upaya manusia sebab Tuhan maha mengetahui dan selalu menentukan yang terbaik untuk manusia.
Hidup ibarat seni, perlu manajemen seni untuk menjalankan irama kehidupan sehari-hari sesuai kehedak Tuhan. Kejadian yang sama belum tentu memiliki makna dan hikmah yang samapula. Itulah sulitnya menerjemahkan kehendak Tuhan, krn Tuhan “bekerja” dengan cara yang misterius. Akan tetapi Tuhan Maha Adil, telah memberikan instrumen dalam jati diri kita berupa rahsa sejati dan guru sejati, sebagai alat paling canggih yang dapat menangkap bahasa isyarat dan kehendak Tuhan. Sayangnya masih banyak orang yang belum mengenali instrumen dalam diri pribadi setiap manusia tersebut.
Kodrat meliputi rumus-rumus ilmu Tuhan yang Mahaluas tak terbatas. Discovery, penemuan ilmiah bidang sains, teknologi dan knowledge, teori-teori filsafat, sosial ekonomi, politik, psikologi, kedokteran merupakan bukti nyata kesuksesan manusia dalam mengejawantah rumus-rumus (kodrat) dan kehendak Tuhan. Bahkan banyak di antara tokoh penemu sains dan teknologi, temuan mereka berkat diawali oleh sebuah ilham atau wisik gaib.
Kadang dengan didahului oleh kejadian unik yang menjadi jalan penunjuk ke arh penemuan baru. Dalam bahasa yang lebih ilmiah disebut sebagai talenta atau bakat alami. Seorang ilmuwan penemu, tidak akan tergantung apa sukunya, bangsanya, bahkan agamanya. Inilah salah satu bukti jika Tuhan itu tidak primordial, anti sektarian dan puritan. Tapi mengapa ya manusia sering kebangeten dengan berulah dan bertabiat kontraversi dengan “sikap” Tuhan tersebut ?
Sebagai bangsa yang agamis, harus berani jujur mengakui, telah kalah langkah dari orang-orang dan bangsa yang justru sering dianggap sekuler dan kafir yang kenyataannya mampu membuktikan diri berhasil menangkap rumus-rumus (kodrat) Tuhan. Hal ini terjadi mungkin karena orang sibuk bertengkar gara-gara perbedaan nilai-nilai pada tataran “kulit”, sekedar “baju” . Sehingga hidupnya selalu dirundung rasa curiga mencurigai sesama (su’udhon).
Manakah yang lebih religius ? Mana pula yang sekedar agamis ? Jika kita tetap negatif thinking dan menutup mata, jangan menyalahkan siapa-siapa bila selamanya ketinggalan dalam segala hal dan jatuh dalam keterpurukan. Padahal, kenyataannya orang yang dapat meraih kemajuan dan kemuliaan hidup, adalah orang yang selalu berpikiran positif. Sebaliknya, tiada bosan-bosannya mengkritik diri sendiri.
Tidak ada komentar: