Seperti di kota-kota besar lainnya, suasananya tidak jauh berbeda, kendaraan lalu lalang tak pernah berhenti. Berbagai macam jenis usaha ada di sepanjang jalan. Ketika masuk kawasan pemukiman, juga banyak rumah penduduk sekaligus juga tempat-tempat kos dan segala macam jenis usaha yang dibutuhkan para penghuni kos.
Namun di balik semua itu, ternyata, wow...! Berbagai macam kenikmatan dunia ada di sana. Berbagai macam perilaku manusia, baik maupun buruk, juga bertebaran di sana. Meski berada di wilayah Kabupaten Sleman, tetapi nuansa pedesaan tidak ada.
Itulah kesan yang muncul kalau kita menyusuri kawasan Babarsari. Bahkan yang mencolok adalah suasana kota besar dengan gemerlapnya jika di waktu malam, khususnya di sepanjang pinggir jalan Babarsari sampai Seturan. Kawasan ini memang tidak pernah sepi. Suasananya selalu hidup sepanjang hari.
Hal ini dapat dimaklumi. Sebab, kawasan ini sudah menjadi salah satu pusat perekonomian di DIY. Dalam setiap harinya, uang jutaan rupiah bahkan mungkin sampai miliaran rupiah beredar di kawasan ini. Uang sebanyak itu dibawa para pendatang, baik para pelajar dan mahasiswa yang tinggal atau membelanjakan uangnya di daerah ini, atau juga dari para pendatang yang menginap di hotel-hotel yang ada di sana, atau orang sekitar DIY sendiri yang sengaja datang ke tempat ini untuk memenuhi kebutuhannya.
Kontribusi dari para pendatang yang terdiri pelajar dan mahasiswa sendiri bisa dipastikan luar biasa nilai nominalnya. Untoro Haryadi, tokoh LSM yang biasa blusukan di kampus-kampus dan di kalangan mahasiswa menjelaskan, uang yang dibawa para pelajar dan mahasiswa di DIY setiap bulannya sangat besar, mencapai 300 miliaran rupiah. Wow... luar biasa, fantastis untuk ukuran Yogya. Sementara itu 80 persen uang tersebut dibelanjakan di Sleman.
"Ketika ngobrol dengan Bupati Sleman Pak Sri Purnomo. Beliau bilang, dari uang yang dibawa para pelajar dan mahasiswa ke DIY, sampai tiga ratus muliar setiap bulannya dan uang tersebut mayoritas atau 80 persen di antaranya dibelanjakan di Sleman," katanya.
Dan kawasan paling ramai adalah seputaran Babarsari-Seturan, yang berada dalam wilayah Kelurahan Caturtunggal Depok Sleman.
Bahkan kawasan ini sering disebut-sebut sebagai sebuah 'kota' di dalam kota. Jadi, peredaran uang di kawasan ini memang wow... Lantas untuk apa saja?
Banyaknya perguruan tinggi yang ada di dua wilayah ini dinilai menjadi daya penggerak utama kawasan ini. Kehadiran puluhan ribu mahasiswa dari berbagai daerah secara langsung maupun tidak langsung telah menggerakkan kehidupan ekonomi kawasan tersebut.
Tentu saja, pertumbuhan ekonomi yang begitu pesat itu pasti akan diikuti perkembangan dan perubahan sosial, budaya serta tatanan kehidupan masyarakat di dalamnya. Baik karena adanya pertemuan berbagai macam latar belakang kebudayaan masyarakat yang berbeda, maupun bertemunya berbagai kepentingan masyarakat di dalamnya.
Hal semacam itulah yang kemudian memunculkan sederet problematika dan persoalan sosial pada dua kawasan yang seolah telah berubah menjadi kawasan metropolis itu. Sebuah gejala yang jamak dijumpai dalam setiap perkembangan sebuah wilayah sebagaimana banyak terjadi pada kota-kota lain di dunia.
Namun di balik semua itu, ternyata, wow...! Berbagai macam kenikmatan dunia ada di sana. Berbagai macam perilaku manusia, baik maupun buruk, juga bertebaran di sana. Meski berada di wilayah Kabupaten Sleman, tetapi nuansa pedesaan tidak ada.
Itulah kesan yang muncul kalau kita menyusuri kawasan Babarsari. Bahkan yang mencolok adalah suasana kota besar dengan gemerlapnya jika di waktu malam, khususnya di sepanjang pinggir jalan Babarsari sampai Seturan. Kawasan ini memang tidak pernah sepi. Suasananya selalu hidup sepanjang hari.
Hal ini dapat dimaklumi. Sebab, kawasan ini sudah menjadi salah satu pusat perekonomian di DIY. Dalam setiap harinya, uang jutaan rupiah bahkan mungkin sampai miliaran rupiah beredar di kawasan ini. Uang sebanyak itu dibawa para pendatang, baik para pelajar dan mahasiswa yang tinggal atau membelanjakan uangnya di daerah ini, atau juga dari para pendatang yang menginap di hotel-hotel yang ada di sana, atau orang sekitar DIY sendiri yang sengaja datang ke tempat ini untuk memenuhi kebutuhannya.
Kontribusi dari para pendatang yang terdiri pelajar dan mahasiswa sendiri bisa dipastikan luar biasa nilai nominalnya. Untoro Haryadi, tokoh LSM yang biasa blusukan di kampus-kampus dan di kalangan mahasiswa menjelaskan, uang yang dibawa para pelajar dan mahasiswa di DIY setiap bulannya sangat besar, mencapai 300 miliaran rupiah. Wow... luar biasa, fantastis untuk ukuran Yogya. Sementara itu 80 persen uang tersebut dibelanjakan di Sleman.
"Ketika ngobrol dengan Bupati Sleman Pak Sri Purnomo. Beliau bilang, dari uang yang dibawa para pelajar dan mahasiswa ke DIY, sampai tiga ratus muliar setiap bulannya dan uang tersebut mayoritas atau 80 persen di antaranya dibelanjakan di Sleman," katanya.
Bahkan kawasan ini sering disebut-sebut sebagai sebuah 'kota' di dalam kota. Jadi, peredaran uang di kawasan ini memang wow... Lantas untuk apa saja?
Banyaknya perguruan tinggi yang ada di dua wilayah ini dinilai menjadi daya penggerak utama kawasan ini. Kehadiran puluhan ribu mahasiswa dari berbagai daerah secara langsung maupun tidak langsung telah menggerakkan kehidupan ekonomi kawasan tersebut.
Tentu saja, pertumbuhan ekonomi yang begitu pesat itu pasti akan diikuti perkembangan dan perubahan sosial, budaya serta tatanan kehidupan masyarakat di dalamnya. Baik karena adanya pertemuan berbagai macam latar belakang kebudayaan masyarakat yang berbeda, maupun bertemunya berbagai kepentingan masyarakat di dalamnya.
Hal semacam itulah yang kemudian memunculkan sederet problematika dan persoalan sosial pada dua kawasan yang seolah telah berubah menjadi kawasan metropolis itu. Sebuah gejala yang jamak dijumpai dalam setiap perkembangan sebuah wilayah sebagaimana banyak terjadi pada kota-kota lain di dunia.
Tidak ada komentar: